Pernah punya pacar? Aku yakin bisa dihitung jari orang yang mengatakan “tidak pernah” kebanyakan akan menjawab “pernah”, bahkan mungkin ada yang menjawab “masih”. Aku adalah satu dari sekian banyak orang yang akan menjawab “pernah”. Ingat, pernah itu artinya dulu iya, tapi sekarang tidak atau mungkin belum lagi. Kali ini aku akan membahas kejadian 6 tahun yang lalu tentang cinta pertama, ralat kurasa bukan cinta pertama mungkin hanya pacar pertama toh waktu itu aku belum mengenal cinta, hanya suka atau bisa kubilang hanya ikut-ikutan.
Umurku 12 tahun waktu itu. Baru masuk smp. Waktu itu aku belum punya banyak teman hanya beberapa teman sekompleks itupun hanya yang dekat-dekat saja rumahnya, tapi kuakui aku memang lebih gampang akrab dengan lawan jenis. “witing trisno jalaran soko kuline”(bener gak sih?) kalo gak salah artinya “cinta datang karna sering bertemu”. Yah maaflah kalo salah, toh aku bukan orang Jawa...aku orang Makassar jadi ndak tau apa-apa tentang istilah itu, tapi aku ingin sekali mengutip kalimat itu karna sangat cocok dengan kisahku dan pacar pertamaku.
Cowok itu tetanggaku. Kakak kelas 2 tingkat di atasku, ia sudah kelas 3 smp di sekolah yang berbeda. Ia di sekolah negeri dan aku di sekolah swasta, tapi namanya juga tetangga, jarak rumah tidak sampe semeter bahkan jika tak ada kunci rumah aku numpang di rumahnya hingga orang tuaku datang membawa kunci rumah. Kami memang akrab awalnya, makan sepiring berdua bukan hal yang tabu, berkelahi sampe ribut sekali bukan hal yang jarang kami lakukan, apalagi beberapa teman juga sering mengolok-olok kedekatanku dengannya. Menurut penelitianku(red.ke-sotta-an) kebanyakan orang yang jadian diawali hanya karna diolok-olok teman bukan karna memang ada rasa suka sejak awal. Itu juga yang terjadi padaku, dengan polosnya aku menjawab “iya” saat ia menawarkan diri menjadi pacarku tanpa berfikir panjang hanya karna beberapa teman berkata “terimami uci, baikji itu anaknya”(logat Makassar). Dasar anak kecil. Oh iya, dari tadi aku bercerita tapi belum kusebutkan namanya. Namanya Surahman Hasan, lebih akrab memanggilnya Ammang, bagi yang kenal dengannya, salam kenal untukmu dariku :).
Tak dapat kuingat jelas kapan(mungkin sekitar bulan september) dan dimana kami jadian, yang kuingat setelah kami jadian itu aku makin sering keluar “seolah-olah” bersosialisasi dengan tetangga, padahalan ada udang di balik terigu. Kadang, aku berpura-pura duduk di teras dan dia berpura-pura bermain gitar di depan rumah dengan teman-temannya sambil sesekali curi-curi pandang. Kadang, telfon rumahku berbunyi dan saat ayahku atau ibuku yang mengangkat telfon, penelfon akan berkata dari seorang teman kelasku yang ingin menanyakan tugas dan seketika berubah menjadi namanya saat aku yang bicara, tugaspun tak lagi dibahas. Saat ibuku butuh bantuan untuk menjemur pakaian di tetangga(karna jemuran kami penuh) atau untuk mengantar makanan yang lebih ke tetangga, akulah orang yang paling rajin dan selalu siap membantu, yah sambil menyelam minum air asal gak tenggelam aja. Kadang juga, aku pura-pura ingin ke rumah teman saat tahu dia sedang nongkrong dekat dari rumah temanku itu. Yang paling sering, saat aku tahu dia sedang bermain PS di sebuah tempat rental PS dekat rumahku yang juga menjual jajanan, aku memutar otak mencari alasan untuk membeli sesuatu di tempat itu hanya untuk bertemu dia. Saat bulan ramadhan, aku jadi rajin ke masjid untuk tarawih, biasanya dia sudah menunggu di tengah jalan entah untuk sama-sama jalan ke masjid atau sama-sama pulang dari masjid. Aku juga jadi sangat rajin ke masjid untuk sholat subuh, karna setelah itu dengan mudahnya aku bisa jalan-jalan subuh disekitar rumah dengannya. Dia bukan orang yang romantis, bahkan tidak bisa romantis. Dia kaku, atau mungkin karna dia masih smp. Tapi kurasa itu bukan alasan yang tepat untuk ketidakromantisannya, dia bukan tipe cowok pemalu. Dia termasuk salah satu playboy di sekolahnya(saat itu, entah sekarang semoga sudah bisa lebih setia). Berkali-kali kudengar beberapa teman cewek sekolahnya dengan mengendarai motor lewat di depan rumahnya dan seolah memanggil namanya, padahal ketahuan kok kalo mereka cuma mau cari perhatian atau cari muka. Apa aku cemburu? Lucunya tidak. Aku biasa saja bahkan menganggap itu normal-normal saja. Bukan hanya itu, berulang kali kudengar kabar dari temanku tentang dia yang menggoda beberapa cewek disekolahnya atau berita tentang dia yang punya pacar di sekolah inilah, di sekolah itulah, di kompleks sinilah, di kompleks sanalah, dan sebagainya. Dan aku tetap saja cuek, toh aku belum tahu harus berbuat apa saat itu. Beberapa orang temannya juga ada yang memberikan kabar-untuk membelanya-tentang dia yang menulis namaku di bangku kelasnya, di bindernya, di bukunya bahkan suatu hari kudapati namaku ia tulis ditangannya(mungkin sengaja diperlihatkan, seolah-olah). Lucu rasanya, padahal aku tidak pernah merasa cemburu, jengkel, marah atau apapun itu. Cara pacaran kami biasa saja. Bahkan terkesan seperti tidak ada apa-apa. Yang seru hanya jika kami akan bertemu, kami mencari tempat sejauh mungkin dari rumah agar tak ketahuan orang tuaku atau dengan sembunyi-sembunyi(bahasa kerennya backstreet), padahal jika difikir dia tetangga tepat disamping rumahku, jarak pun tak sampai semeter(agak alay) mestinya tidak perlu repot. Bahkan beberapa kali kami sempat berbalas surat, maklumlah waktu itu hape masih hal yang tabu, facebook saja belum tahu, masih jamannya friendster, itupun kami jarang OL, yah uang jajan waktu itu masih sangat minim jika harus disisakan untuk main di warnet.
Berbeda dengan orang tuaku yang tak mengizinkanku pacaran, orang tuanya malah menerimaku seolah-olah aku ini anak mereka. Memang tidak heran, orang tuaku dan orang tuanya memang sudah sangat akrab. Mereka saling percaya dan saling membantu, tapi itu bukan alasan bagi orang tuaku untuk mengizinkanku pacaran. Orang tuaku tak pernah megizinkan anaknya pacaran, bukan budaya keluarga katanya. Lucunya disini, orang tuanya juga ikut menyembunyikan hubungan kami, bahkan rahasia ini terjaga selama 3 bulan lebih hingga kami putus.
Ngomong-ngomong soal putus, mungkin aku tak pantas mengatakan ini. Kami belum pernah mengatakan putus entah dari dia ataupun dari aku, tapi semua berakhir begitu saja. Ini juga karena dia, bukan tapi karena kepopularitasnya dan banyaknya cewek yang suka padanya. Seorang cewek teman sekolahnya tiba-tiba melabrakku saat pulang sekolah di jalanan. Berkata seolah-olah aku merebut pacarnya, sontak aku kaget. Kenapa baru mengaku saat kami sudah 3 bulan pacaran. Kufikir itu hanya kebohongan, toh dia memang banyak disukai cewek jadi kuabaikan saja sampai ia mengancam akan menggangguku terus jika kami tidak putus.
Bukannya aku takut, tapi aku tidak suka kehidupan yang ribet. Aku ingin damai dan tenang, jadi sejak saat itu kujauhi pacarku itu. Dan akhirnya tak ada lagi komunikasi. Orang tuaku bukan tidak tahu, ternyata mereka tahu. Bahkan ibuku sempat memancingku dengan cara bertanya, kenapa aku jarang keluar rumah lagi. Aku diam, bukan karna tak mau cerita, tapi menurutku itu bukan hal yang terlalu penting untuk kucerita. Sejak saat itu kami seperti tak kenal.
Tapi itu dulu, sekarang aku mulai membangun komunikasi itu lagi. Bukan untuk kembali jadi pacarnya lagi, tapi mencoba menjadi adiknya, aku nyaman memanggilnya abang dan dia juga tampaknya memanggilku adik. Silaturahmi itu tak boleh putus apapun yang terjadi. Itu yang coba kuterapkan kini.
Jika tulisan ini dibaca olehnya, semoga dia tak marah. Kenangan masa kecil itu bukan untuk dilupakan tapi untuk dikenang dan mungkin ditertawakan. Makasih untuk kisah-kisah indah yang abang buat di awal masa kelabilanku. Senang pernah menjadi pacarmu, meski bukan karna cinta tapi hanya karna suka.
Dan untuk yang membaca tulisan ini, siapapun dan dimanapun anda...terima kasih, tetap kenang masa kecilmu dan jadikan bahan cerita untuk anak-cucumu nanti :)
I am @uciiichye on twitter