Miris rasanya melihat kehidupan kota metropolitan yang katanya mulai mencanangkan program kemiskinan tapi masih saja dikerumuni oleh rakyat jelata yang tak jelas arah hidupnya.
Sedih rasanya melihat masih banyak anak dibawah umur yang harus menjual koran hanya untuk sesuap nasi atau seteguk air.
Syukur jika setiap keuntungan yang mereka dapat diambil sendiri tapi jika masih harus melewati para pemungut liar, jangankan untuk makan untuk membeli permen pun mungkin mereka sangat sulit.
Lalu lalang mobil mewah dengan plat nomor miliaran membuat mataku perih jika disandingkan dengan anak-anak kecil yang menjual koran dengan tangan mungilnya.
Menggapai segala yang mungkin mereka gapai.
Tak tahan rasanya melihat orang-orang yang berlindung d bawah jalan layang yang menggunakan dana bertrilliun-trilliun yang akhirnya hanya digunakan oleh orang-orang parlente, orang-orang kaya yang berpenghasilan besar yang enggan melirik kehidupan di bawah jalan yang mereka lalui. Rasanya mereka yang berjuang akhirnya hanya dapat hidup untuk hari ini saja. Belum lagi jika ada penertiban dan penggusuran, mereka tiba-tiba seperti orang celingukan yang gempar mencari tempat berlindung meski mereka tahu tak akan ada tempat berlindung yang aman bagi mereka.
Siang hari tempat ini dijadikan tempat mereka tidur melepas lelah, melepas segala kepenatan udara panas yang semakin siang semakin membakar tubuh, dan dimalam hari muncullah beberapa pekerja yang mengandalkan kecantikan serta alat reproduksinya yang kini sudah tidak kenal situasi, mereka tak sebuntung orang-orang siang tadi tapi mereka memiliki beban hidup yang lebih berat dan menyusahkan dari orang-orang frustasi yang hidup enggan mati tak mau.
Tak tahan rasanya melihat penderitaan di bawah jalan layang seharga trilliun rupiah, dimana mestinya uang itu bisa dipakai membangun tempat penampungan gratis yang layak untuk orang-orang yang memang sangat membutuhkan dibandingkan untuk mengutamakan penampilan kota yang hanya akan menjadi kesombongan negeri.
Banyak mobil-mobil mewah lewat tanpa ingin membuka kaca sekedar mendengrkan nyanyian kecil dari seorang pengamen cilik, mereka bahkan mencibir dan tak kurang dari mereka yang marah serta meluapkan emosi tanpa alasan dan mengaplikasikannya dengan sedikit tabrakan kecil di samping pengamen.
Hidup ini seperti tak adil bagi mereka.
Mereka mengais rupiah demi rupiah yang kadang akhirnya tak sampai di tangan mereka.
Jalanan...inilah rumah mereka.
Berdinding angin malam, beratapkan langit, berlantaikan tanah...inilah hidup mereka.
Hidup yang tak adil menurutku. Hidup yang tak memihak mereka. Hidup yang kadang mempersulit mereka di waktu-waktu tertentu. Atau hidup yang tak memiliki hilir dan muara. Hidup rumit yang lebih rumit dari sekedar menyelesaikan sebuah rubik. Hidup yang sedih menurutku. Hidup yang tetap mereka jalani dengan ikhlas meski harus bercucuran air mata dan keringat. Hidup pemberian Tuhan. Tak ada yang adil bagi mereka kecuali pemberian Tuhan. Keadilan itu hanya ada di mata orang-orang seperti mereka yang tetap positif.
Kejahatan dunia membuat mereka harus berfikir lebih keras demi untuk mendapatkan seratus rupiah. Namun tak sedikit dari mereka yang sepertinya lebih senang mengambil jalan pintas yang tak sepenuhnya halal. Mengapa rasanya hidup dan uang membutakan mereka?